Jakarta , Intra62.com . Rupiah, Ekspor, dan Energi: Ancaman Ekonomi RI di Bawah Presiden Trump 2.0 . Dilantiknya kembali Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump pada Senin, 20 Januari 2025. Menandai permulaan babak baru , baik bagi Amerika Serikat maupun di seluruh dunia. Trump mulai menerapkan kebijakan yang ia janjikan selama kampanyenya setelah dilantik. Kemudian, Presiden AS ke-45 dan ke-47 itu juga membuat kebijakan baru yang mengejutkan dunia.
Menurut laporan Congressional Research Service (CRS), yang dikutip Time Selasa (21/1/2025), Trump hanya menandatangani 46 perintah eksekutif hanya beberapa jam setelah dilantik. Termasuk empat pengumuman staf administrasi, daftar pejabat kabinet, dua belas memorandum, dan empat proklamasi. Komisi Yudikatif AS dapat meninjau perintah eksekutif untuk menentukan apakah mereka dapat diratifikasi atau dibatalkan oleh legislatif.
Dari total 46 perintah eksekutif, beberapa menjadi kontroversial di Amerika Serikat dan bahkan di seluruh dunia. Ini termasuk kebijakan tentang pengakhiran kerja jarak jauh, penghentian perekrutan pegawai sipil federal di cabang eksekutif, keluar dari Perjanjian Paris dan pakta iklim internasional lainnya. Dan penghentian komitmen keuangan AS untuk Konversi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB.
Selanjutnya, eksekutif diminta untuk menunda pemblokiran Tiktok, keluarnya Amerika Serikat dari keanggotaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Penerapan tarif perdagangan tinggi terutama dengan Tiongkok, mendeklarasikan darurat energi nasional , dan menjanjikan kembalinya bahan bakar fosil. Mereka juga menolak kesepakatan pajak global yang dibuat oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang memungkinkan penurunan tarif pajak per tahun.
“Di bawah Presiden Trump, prioritas utama Departemen Luar Negeri Amerika Serikat adalah Amerika Serikat,” kata Marco Rubio, yang dikonfirmasi dengan suara bulat oleh Senat pada 20 Januari 2025, dikutip Time, Kamis (23/1/2025).
America First
Yusuf Rendy Manilet, seorang peneliti ekonomi dan kebijakan publik dari Center of Reform on Economic (CORE), mengatakan bahwa Trump telah berkomitmen untuk mendahulukan kepentingan domestik AS, atau yang sering disebut sebagai “America First”. Selama pemerintahannya yang pertama dan saat ini. Akibatnya, tidak mengherankan jika kebijakan yang dia buat hanya berpotensi menguntungkan negaranya sendiri, tanpa mempertimbangkan efeknya pada negara lain.
“Saya kira, dalam konteks itu, akan ada beberapa negara yang terkena dampak, termasuk di dalamnya Indonesia,” katanya kepada Intra62 pada Kamis (23/1/2025).
Bicara tentang dampak, Yusuf paling khawatir dengan tarif perdagangan tinggi atas barang-barang yang dikirim ke Amerika Serikat kepada mitra dagangnya. Menurut VOA, Trump paling cepat akan memberlakukan bea masuk pada Uni Eropa, dan pada 1 Februari 2025 akan mengenakan tarif 10% untuk impor Cina, 25% untuk impor Kanada dan Meksiko.
Khawatir bahwa tarif perdagangan tinggi akan berdampak pada ekspor barang Indonesia ke Amerika Serikat . Karena Indonesia memiliki surplus perdagangan dengan Amerika Serikat.
Baca juga : Skandal Seks Trump Memuncak, Bintang Porno Dipanggil ke Pengadilan.
Yusuf menambahkan, “Nah, selain itu, jika kita bicara tentang dampak ke negara lain, misalnya ke Cina. Yang salah satu target Trump, memang ini akan memberikan dampak langsung dan tidak langsung ke Indonesia.”
Tarif impor tinggi AS dan penurunan ekonomi Cina dapat melambat ekspor Indonesia ke Tiongkok secara langsung. Selain itu, perlambatan ekonomi Cina, yang merupakan salah satu negara dengan konsumsi terbesar di dunia, dapat menyebabkan harga komoditas turun.
Menurutnya, Indonesia tentu juga akan dirugikan secara tidak langsung karena beberapa komoditas itu merupakan andalan ekspor Indonesia selama ini. Seperti CPO (minyak sawit mentah), nikel, tembaga, dan beberapa komoditas lainnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit terbesar Indonesia per 2023 adalah Tiongkok atau China, dengan harga 4,67 miliar dolar.
Minyak Dunia Stabil ?
Sebaliknya, tindakan Trump yang akan mendorong kembali produksi dan penggunaan bahan bakar fosil akan memastikan harga minyak dunia stabil. Ini didorong oleh fakta bahwa AS saat ini adalah produsen minyak bumi terbesar di dunia, dengan perkiraan rata-rata 13,2 juta barel per hari pada 2024, naik dari 12,9 juta barel per hari pada tahun sebelumnya.
“Nah, ini yang paling membantu. Harga minyak jadi relatif stabil,” kata David.
Meskipun begitu, keputusan ini akan menempatkan AS di ambang target emisi nol pada 2050. Keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris pada tahun 2015 memperparah kondisi ini. Langkah-langkah tersebut segera mengganggu upaya global untuk memerangi pemanasan global.
( Anisa-red)