Jakarta, Intra62.com – Memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2023, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama anggota mengadakan diskusi media dengan isu “Mencapai Target Nol Sampah Nol Emisi Pengelolaan Sampah”, yang meliputi pengelolaan sampah dari hulu (upstream), tengah (middle stream), hingga hilir (downstream).
Pertemuan dengan awak media ini menghadirkan pembicara yaitu Muharram Atha Rasyadi (Greenpeace Indonesia), Yuyun Ismawati (Nexus3 Foundation), David Sutasurya (YPBB) dan Yobel Novian Putra (GAIA Asia Pasifik).
“Sesungguhnya masalah terbesar dari krisis sampah ada di hulu sistem ekonomi kita, dimana material diambil dengan begitu cepat secara masif dan destruktif. Namun, sampah sendiri juga memberikan dampak negatif di seluruh tahap ekonomi baik di tengah maupun di hilir. Ketika sampah dibakar di bagian hilir, baik di insinerator sampah, di industri semen, maupun di PLTU batubara emisi yang dilepaskan lebih besar dari emisi dari PLTU batubara. Hal ini sangat mengecewakan karena narasi “Zero Waste, Zero Emission” pemerintah Indonesia sesungguhnya sangat didominasi solusi-solusi palsu tersebut yang sangat mahal, polutif, dan diregulasi secara lemah. Kebijakan ini jelas sangat mengancam implementasi solusi zero waste, terutama dari sisi komitmen pembiayaan, transisi yang berkeadilan, dan penanganan krisis iklim” jelas Yobel Novian Putra, Climate and Clean Energy Campaign Officer, GAIA Asia-Pacific.
Baca juga: Bekasi Sulit Wujudkan RTH
Didorongnya solusi semu seperti teknologi termal, diantaranya termasuk Refuse Derived Fuel (RDF), atau Bahan Bakar berbasis Limbah (BBL), dan insinerator sebagai arah kebijakan pemerintah untuk penanganan sampah kota meningkatkan ancaman pencemaran lingkungan dan kesehatan manusia karena racun dalam plastik muncul sejak tahap produksi, konsumsi, hingga akhir masa pakai.
Solusi palsu seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL), bahkan co-firing RDF, secara sistematis tersebar dalam berbagai dokumen kebijakan dan perencanaan pemerintah, seperti Peraturan Presiden dan Proyek Strategis Nasional. Bahkan, dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDCs), teknologi termal dimasukan sebagai solusi mitigasi perubahan iklim.
Isu persampahan juga termasuk dalam perhitungan emisi karbon NDC Indonesia, namun hanya memperhitungkan emisi karbon pada tingkat hilir. Padahal diperkirakan 2/3 emisi karbon global terkait dengan ekonomi material, di mana sebagian besar emisi terjadi pada tahap ekstraksi, produksi dan distribusi. Namun, pada tahap end of pipe, pemerintah Indonesia malah mendorong teknologi pembakaran yang hanya mengkonversi emisi gas metan dari sampah tercampur menjadi karbondioksida.
Baca juga: Sampah Pengolahan Di Perbatasan, Tangerang danTangsel Harus Belajar Dari Jakarta Dan Bekasi
“Plastik dibuat menggunakan berbagai kimia aditif yang sebagian besar bersifat karsinogenik. Sejak tahap produksi hingga akhir masa pakai, racun kimia bahan pembantu ini berpindah ke tubuh pengguna dan dilepas ke lingkungan. Sekali terlepas ke lingkungan dan masuk ke tubuh kita, racun-racun ini sulit untuk ‘ditangkap’ dan dimusnahkan, menjadi lebih kompleks karena menjadi campuran yang toksik,” kata Yuyun Ismawati, pendiri dan Senior Advisor Nexus3 Foundation. “Untuk menerapkan pendekatan Produksi dan Konsumsi yang Berkelanjutan, kimia-kimia aditif beracun ini harus dilarang, diganti dengan yang lebih aman. Terlebih lagi, pengurangan produksi bahan baku plastik harus dilakukan secara bertahap agar volume sampah plastik dan lepasan racun kimia aditif plastik dapat dihentikan.”
Penanganan sampah secara teknologi termal tidak hanya membahayakan lingkungan, tetapi juga kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas penanganan dan daur ulang limbah karena dapat terpapar kimia beracun, seperti dioksin furan, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan reproduksi, gangguan hormon, dan kanker.
Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia menyebutkan “Kelonggaran pemilihan opsi pengurangan sampah oleh produsen dalam Peraturan Peta Jalan Pengurangan Sampah, serta minimnya transparansi publik dikhawatirkan dapat menjadi celah bagi produsen untuk memilih opsi yang tidak sesuai dengan prioritas hirarki pengelolaan sampah, seperti menjadikan daur ulang sebagai jalan utama upaya pengurangan plastik, termasuk di dalamnya chemical recycling dan RDF. Padahal praktik seperti ini akan terus melanggengkan produksi plastik berlebihan dan berdampak melepaskan limbah serta gas beracun yang dapat membahayakan masyarakat.“
Baca juga: Manfaat Tumbuhan Liar Yang Bisa Dikonsumsi, baik Untuk Kesehatan
“Zero Waste Zero Emission – Tuntas kelola sampah untuk kesejahteraan masyarakat” adalah tema HPSN yang diangkat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023. Peran semua pihak sangat vital untuk mengelola sampah. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75 Tahun 2019 tentang Extended Producer Responsibility (EPR), produsen diwajibkan untuk menyerahkan dokumen rencana pengurangan sampah plastik 30% pada 2030. Namun, hingga saat ini masih banyak produsen yang belum menyerahkan dokumen dan tidak ada informasi yang dapat diakses publik terkait dokumen yang telah disampaikan oleh korporasi.
David Sutasurya, Direktur Eksekutif YPPB menegaskan “Zero Waste adalah solusi paling realistis bagi pemerintah daerah, tidak mungkin bagi pemerintah daerah untuk membiayai pengelolaan sampah, selama wilayah mereka masih dibanjiri plastik. Pemerintah pusat perlu segera menerapkan pelarangan produk dan kemasan sekali pakai secara nasional, sehingga pemerintah daerah dapat lebih fokus pada daur ulang sampah organik. Bila pemerintah pusat berani menerapkan kebijakan pelarangan produk, mendorong industri substitusi produk dan kemasan sekali pakai dengan konsep guna ulang dan kemasan plastik sekali pakai, pemerintah daerah juga dapat mulai segera menerapkan kewajiban daur ulang sampah organik kepada semua sumber sampah dan hanya melayani penanganan sampah residu di sanitary landfill masing-masing,” pungkasnya.
Tentang Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI)
Organisasi yang terdiri dari YPBB, GIDKP, Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi dan WALHI. AZWI mengkampanyekan implementasi konsep Zero Waste yang benar dalam kerangka pengarusutamaan melalui berbagai kegiatan, program, dan inisiatif Zero Waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan pendekatan produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama 10 anggota hadir untuk memberikan rekomendasi solusi Zero Waste yang aman, bebas racun, dan berkelanjutan. Rekomendasi AZWI berfokus pada pengurangan sampah plastik dan penanganan berbasis sumber yang bertujuan menciptakan ekosistem pengelolaan sampah nasional melalui penguatan regulasi di tingkat nasional dan daerah dengan pendekatan pengurangan, guna ulang dan penerapan prinsip zero waste secara tepat.
(Andi/RedPel/Intra62)