Sekjend DPP AWDI Balham Wadja SH bersatu dengan Gusti Aning (foto, Intra62.com)
Yogyakarta , Intra62.com – Menurut Gusti Kukuh Hestriyaningrum, atau Gusti Aning, Cucu Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) lamban.
Ia menyatakan bahwa, meskipun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY memiliki fondasi hukum yang kuat, keistimewaan DIY masih belum sepenuhnya diterapkan.
Menurut Gusti Aning, keistimewaan Yogyakarta telah mendapat pengakuan legal secara formal dari negara, dengan DIY memiliki hak asal-usul, entitas, dan identitas yang jelas sebagai daerah istimewa. Namun, dia berpendapat bahwa pelaksanaan keistimewaan tersebut masih belum menyelesaikan masalah fundamental masyarakat.
Gusti Aning mengatakan bahwa memiliki Sri Sultan HB X sebagai Raja dan Gubernur adalah masalah yang unik. Ia menyatakan bahwa banyak kebijakan sosial dan budaya tidak dapat diterapkan secara langsung karena perlu melalui proses birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Gusti Aning menyatakan, “Sultan seharusnya bisa mengeluarkan kebijakan langsung berdasarkan otoritas budaya dan adat. Tapi saat jabatan Gubernur membatasi geraknya, banyak inisiatif yang akhirnya terhambat.”
Selain itu, ia menyatakan bahwa jalan kebijakan keistimewaan masih tidak jelas. Apakah keistimewaan hanyalah perjalanan budaya atau bisa menjadi ide baru untuk meningkatkan ekonomi dan sosial masyarakat? .
Untuk mendukung pembangunan berbasis keistimewaan di DIY, pemerintah pusat telah menyalurkan lebih dari Rp 2,2 triliun Dana Keistimewaan (Danais) dari 2024 hingga 2025.
Gerakan Budaya
Gusti Aning, bagaimanapun, berpendapat bahwa penyerapan dan efeknya belum terlihat di masyarakat . Dan menurutnya, meskipun anggaran Danais begitu besar, sampah masih berserakan, lingkungan tidak dikelola dengan baik, dan ekonomi kreatif belum berkembang secara merata.
Ia mempertanyakan apakah Danais sudah mencapai tujuan atau apakah sistem birokrasi yang lamban justru membuatnya hilang. Namun, pembangunan DIY masih jauh dari harapan. Problem sampah yang tidak dapat diselesaikan segera adalah contoh kecil.
Gusti Aning Dorong Percepatan Lewat Jalur Budaya dan Kepemimpinan Sultan, menyatakan bahwa Sultan memiliki posisi strategis untuk mendorong kebijakan luar biasa (extraordinary policy) tanpa harus selalu menunggu arahan dari pusat.
Ia mencontohkan bahwa sultan dapat memberikan instruksi langsung tentang pengelolaan sampah komunitas dan pelestarian lingkungan sebagai elemen moral budaya hal ini tidak perlu menunggu birokrasi yang lamban jika Sultan menggunakan kekuasaan rajanya. Secara bertahap, kebijakan dapat menyasar 390 kelurahan di DIY secara langsung,” katanya.
Selain itu, Gusti Aning menyarankan untuk memanfaatkan tanah Sultan Ground atau tanah kas desa untuk tujuan yang menghasilkan uang, seperti pengolahan sampah berkelanjutan. dan Jogja dapat mencontoh kota-kota seperti Banyuwangi atau Solo dalam mengelola sampah menjadi energi jika ada kemauan politik dan kesadaran budaya.
Gusti Aning mengagumi gerakan budaya yang didirikan oleh Dedi Mulyadi di Jawa Barat. Dia mengagumi bagaimana Dedi Mulyadi menghidupkan kembali nilai-nilai budaya, sejarah, dan etika lingkungan sebagai dasar pembangunan masyarakat.
Dengan budaya, Didi Mulyadi membangun kekuatan mental kolektif rakyatnya. Ia menyatu dengan masyarakat, memuliakan sejarah, dan lingkungan. Dia menyatakan bahwa Jogja memiliki potensi yang lebih besar karena memiliki sumber daya budaya dan sejarah yang lengkap.
Lanjut Aning bahkan merekomendasikan DIY untuk menjalin kerja sama budaya dengan Jawa Barat. Dia juga mempertimbangkan apakah keduanya harus mengadakan pertemuan untuk berbicara satu sama lain,
Sultan dan KDM akan berbicara jika diperlukan. Dia juga menyatakan bahwa kolaborasi antara dua wilayah bersejarah ini dapat membentuk kekuatan budaya Nusantara yang luar biasa.
Gusti Aning, sebagai bagian dari darah Mataram, berharap keistimewaan Jogja tidak hanya sebagai simbol . Tetapi menjadi kekuatan yang membantu masyarakat dimana Keistimewaan seharusnya membentuk satu ekosistem dari hulu ke hilir. Termasuk nilai leluhur, pelestarian budaya, pengelolaan lingkungan, dan kesejahteraan ekonomi. “Jangan berhenti di tengah jalan”, katanya.
Ia mengimbau semua pihak untuk membangun Jogja dengan tulus, menggunakan spiritualitas dan etika budaya sebagai landasan pembangunan yang dapat disimpulkan bahwa Yogyakarta harus istimewa . Yaitu dalam gerakan, kebijakan, dan hasil nyata di lapangan, bukan hanya di atas kertas.
Baca juga : Prajutit Keraton Yogyakarta Mengarak Enam Gunungan Grebeg Besar
(Red).