Intra62.com, Jakarta – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md menceritakan kejadian hilangnya dokumen penyelidikan suatu kasus pada 2017. Dokumen yang disimpan di Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan HAM, kantor polisi hingga kejaksaan, hilang secara bersamaan pada waktu itu.
“Hilangnya aneh,” kata Mahfud Md dalam acara anugerah keterbukaan informasi publik yang digelar Komisi Informasi Pusat (KIP) di Tangerang, Banten, Rabu, 14 Desember 2022.
Dokumen dinyatakan hilang ketika ada permintaan untuk keterbukaan informasi oleh publik saat itu. Institusi yang ditagihpun bukannya memberikan, tapi malah menyatakan dokumen hilang.
Sementara, anggota tim penyelidikan yang masih ada tidak mau bicara. “Itu 2017, permintaan atas informasi publik tentang kasus yang terjadi di 2009,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Hanya saja, Mahfud tidak bersedia merinci kasus yang dimaksud. Ia hanya menegaskan kalau hak atas informasi sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar. “Tidak penting apa kasusnya,” kata dia.
Sebelumnya, kasus yang identik pernah terjadi pada dokumen laporan Tim Pencari Fakta (TPF) aktivis HAM Munir Said Thalib. Tapi kasus tewasnya Munir terjadi pada 2004, bukan 2009 seperti yang disinggung Mahfud.
Kala itu, istri Munir, Suciwati, melaporkan Kementerian Sekretariat Negara terkait hilangnya dokumen laporan TPF Munir kasus tewasnya Munir pada 2004, kepada Ombudsman RI. Dalam kasus ini, Suciwati melaporkan Kemensetneg atas tuduhan melakukan tindakan maladminstrasi.
“Seperti saya sudah bilang, kasus Munir ini sebenarnya mudah, tapi kemudian dibuat berbelit-belit oleh pemerintah yang tak mau mengungkapnya, menuntaskannya. Sehingga ini menjadi hal yang teknis,” kata Suciwati saat ditemui seusai melaporkan kasus ini di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Pada 23 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perpres nomor 111 Tahun 2004 tentang “Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir”. TPF kemudian dibentuk dan telah menyelesaikan laporan investigasi mereka.
Dokumen hasil investigasi diserahkan secara langsung kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005 di Istana Negara. Dokumen itu tak pernah dibuka ke publik, tiba-tiba, dokumen hasil penyelidikan TPF itu hilang.
Hilangnya laporan itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016. Ketika itu, KontraS mendatangi kantor Sekretariat Negara meminta penjelasan dan mendesak segera dilakukan pengumuman hasil laporan TPF.
Baca Juga : Tersangka Doni Salmanan Hanya Divonis 4 Tahun Denda 1 Milyar
KontraS kemudian menggugat Kemensetneg. Oktober 2016, KontraS memenangkan gugatan terhadap Kemensetneg. Majelis hakim memerintahkan lembaga negara itu segera mengumumkan dokumen TPF. Namun,Kemensetneg mengaku tak memiliki dokumen tersebut.
Rezim berganti, Koalisi masyarakat sipil penggiat hak asasi manusia mendesak pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi segera menemukan dokumen resmi laporan TPF Munir dan mengungkapkannya kepada publik serta menindaklanjuti semua hasil laporan tersebut. Kini, sudah periode kedua pemerintahan Jokowi, istana juga tak kunjung mengungkap kasus Munir.
Kala itu, Ombudsman RI berjanji mengusut hilangnya dokumen TPF Munir dalam kurun waktu empat bulan. “Secara keseluruhan memakan waktu 121 hari. Ini waktunya yang sampai ke rekomendasi,” ujar anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, pada Selasa, 5 November 2019.
Ninik mengatakan Suciwati sudah melengkapi persyaratan formil dan materiil dalam laporan. Suciwati melapor dugaan tindakan maladminstrasi, khususnya yang dilakukan oleh Kementerian Sekretariat Negara, yang menyebabkan dokumen tersebut hilang.
Ombudsman kemudian akan menggelar rapat pleno, untuk menentukan apakah mereka akan membentuk tim khusus atau tim gabungan untuk menangani kasus ini. Setelah itu, tim baru bergerak untuk menindaklanjuti, baik dalam bentuk klarifikasi maupun investigasi, terkait pihak yang terlibat di dalamnya
“Ini kasus sudah sangat lama ya hampir 14 tahun. Mungkin tidak lagi cara surat menyurat, tapi kita akan bertemu dan berbicara soal kasus ini supaya bisa berjalan lebih cepat,” kata Ninik.
Lebih lanjut, Mahfud Md pun menegaskan bahwa Indonesia harus memajukan demokrasi yang inklusif dan akuntabel dengan mendorong akses informasi publik. Menurut dia, ini adalah ciri dari sistem pemerintahan yang demokratis.
Pasca reformasi, kata dia, lembaga publik yang tak mau membuka informasi publik yang diminta, padahal bukan rahasia, bisa digugat ke pengadilan dalam sistem semi peradilan di KIP. Mahfud menerima laporan KIP soal penyelesaian sengketa informasi.
Tahun ini sudah ada 87 kasus yang diselesaikan dan ditargetkan mencapai 98 kasus di akhir tahun. “Ini prestasi,” kata dia.
Mahfud juga bercerita sebelum menjadi Menteri Koordinator, dirinya banyak mendapat laporan masyarakat soal sulitnya mengakses informasi di institusi publik tertentu. Alasan yang dipakai institusi ini yaitu dokumen tersebut rahasia. “Padahal sudah ada di UU, mana yang rahasia yang yang tidak,” kata dia.
Untuk itu, Mahfud menyerukan lembaga publik untuk tidak menyembunykan informasi publik karena tidak ada untungnya. “Kalau yang harus dibuka, ditutup-tutupi, media sosial akan sangat cepat menemukan fakta, lebih baik terbuka sedari awal,” ujarnya.
(red)