Intra62.com, Jakarta – Politisasi identitas keagamaan memang menjadi salah satu yang muncul dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya dan pemilu 2024.
Identitas keagamaan masih menjadi pilihan untuk mendapatkan dukungan suara. Selain itu juga menggunakan identitas keluarga ataupun orang terdekat yang mempunyai elektoral tinggi juga masih menjadi pilihan calon.
Oleh sebab itu menjadi renungan banyak pegiat kebinekaan. Apakah politisasi identitas keagamaan untuk memenangi kontestasi elektoral akan tetap digunakan atau bahkan menjadi tren pada Pemilu simultan 2024 mendatang?
Menurut persepsi penulis, pemilihan serentak 2024 untuk memilih wakil di lembaga yudikatif yakni DPRD Tk II, DPRD TK 1, DPRRI, DPDRI serta Pilihan Presiden yang waktunya dilakukan secara bersamaan masih akan dijumpai penggunaan politik identitas untuk popularitas dan elektabilitas calon. Oleh sebab itu perlunya untuk terus mengkampanyekan semangat keberagamanan atau multikutural di kalangan pemilih.
Apalagi jika kitaa melihat fenomena perbincangan di media sosial, terutama di group WhatsApp politasi keagamaan masih menjadi perdebatan yang tidak akan pernah berakhir.
Oleh sebab itu berdasarkan analisis penulis politisasi identitas selama ini, harus ditunjang dengan tiga penopang utama yakni : menguasai kompetensi kenegaraan dan pemerintah di level politisi dan kontestan elektoral, regulasi dan penegakan hukum yang harus diperkuat, dan kultur kawula (subjek) pada level warga.
Level politisi dan kontestan elektoral harus mempunyai kompetensi kenegaraan dan pemerintahan. Penegakan hukum harus dilaksanakan tanpa tebang pilih. Serta warga negara harus menjadi kultur kawula. Jika hal tersebut terus kita sosialisasikan secara masif dan praktik di lapangan dengan contoh nyata maka setidaknya politisasi identiotas dapat kita kurangi.
Oleh sebab itu sebagai seorang tokoh masyarakat di wilayah marilah kita berusaha dengan kemampuan kita untuk menggerus sebagian penopang tersebut digerus. Pelan-pelan politisasi identitas dapat kita padamkan atau minimal kita deaktivasi.
Jika kita belajar dari keberhasilan kita memerangi marginalisasi perempuan dari kontestasi politik elektoral. Pada mulannya perempuan tidak mendapatkan peran dalama kontestasi politik elektoral dalam beberapa dekade.
Konsistensi perjuangan, dengan regulasi yang memadai dan penegakannya yang imparsial, kita bisa menjamin hak kandidasi yang lebih setara dan politik elektoral yang lebih inklusif bagi perempuan walaupun kultur patriarki di level kultural masih kuat. Apalagi saat itu ada istilah bahwa wanita adalah konco belakang, yang tidak punya hak untuk menduduki jabatan di legislative, pemimpin di semua sektor.
Di atas regulasi yang selalu diperbaharui disesuaikan dengan jaman. Namun tak kalah pentingnya bagaimana penegakannya. Kita tentu harus terus menggaungkan panggilan moral (moral call) agar para politisasi yang terlibat langsung maupun tidak langsung sebagai kontestan elektoral menghentikan politisasi identitas sebagai instrumen untuk menghimpun suara dan memenangi kontestasi pemilu 2024.
Penggunaan politisasi identitas menghadirkan aneka kerentanan bagi tata kebhinekaan Indonesia dalam bentuk segregasi dan polarisasi yang menghancurkan kohesi sosial. Namun yang menjadi peerhatian jangan sampai politik identitas tersebut akan melemahkan semangat persatuan dan kesatuan. Sehingga tidak menjadi residu dalam kontestasi elektoral 2024. Oleh sebab itu masrilah kita dahulukan semangat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman Indonesia untuk bersama-sama bertanggungjawab terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bawaslu harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya untuk menjalankan tugas dan wewenangnya dalam mewujudkan konstestasi elektoral yang demokratis menghasilkan pemimpin masa depan yang berkualitas. Bukan didasarkan pada identitas apapaun namun didasarkan pada prestasi dan kualitas dari calon.(red)
Baca Juga : DPRD Jabar Lobi Kemendagri Dukung Pemekaran Cirebon