Jakarta , Intra62.com . Presiden Prabowo Subianto menyatakan Prabowo akan bayar Utang Whoosh, 1,2 Triliun. Bahwa ada anggaran cicilan sebesar Rp 1,2 triliun per tahun untuk pembayaran utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh). “Kita mampu, kita kuat, duitnya ada,” katanya dengan nada meyakinkan, menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan pembayaran kepada China.
Sayangnya, sang kepala negara tidak menjelaskan secara rinci dari mana dana tersebut berasal, apakah dari APBN, dana kelolaan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, atau mekanisme off-balance-sheet lainnya. Di sinilah masalah utama muncul: “Kejelasan sumber” adalah kewajiban dalam negara sistemik.
Kami dapat memahami keinginan pribadi presiden untuk mengambil tanggung jawab. Namun, tanggung jawab individu bukanlah mekanisme fiskal dalam ekonomi publik. Utang negara bukanlah janji pribadi; ia tertanam dalam APBN, diaudit oleh BPK, dan diawasi oleh publik dan lembaga legislatif.
Pembayaran utang luar negeri dapat berubah menjadi arena politik dan moral hazard jika tidak ada transparansi tentang asal-usul dana. Ini terutama berlaku untuk kontrak dengan China Development Bank, lembaga keuangan negara yang kini menjadi lender terbesar Indonesia.
Singkatnya, Presiden Prabowo mewarisi tanggung jawab politik dan keuangan dari presiden sebelumnya. Dengan Presiden Jokowi yang terus mempertahankan kekuatan yang signifikan melalui jaringan oligarki ekonomi dan politik, manuver fiskal tidak lagi sebatas teknik. Ia menjadi seni bertahan di istana megah, di mana setiap keputusan keuangan adalah hasil perundingan antara sistem, loyalitas, dan geopolitik.
China sekarang menjadi kreditor utama untuk berbagai inisiatif strategis Indonesia dan lebih dari sekadar mitra dagang; ia telah menjadi pengendali arus kas nasional. Mengembalikan otoritas fiskal kepada teknokrat daripada bergantung pada politik simbolik adalah masalah utama pemerintahan Prabowo.
Pembayaran 1,2 T dari mana ?
Pernyataan “kita mampu, kita kuat” pasti memengaruhi orang-orang. Namun, kekuatan fiskal diukur oleh neraca primer dan kredibilitas kebijakan, bukan janji verbal. Pembayaran tahunan sebesar 1,2 triliun rupiah tidak cukup untuk membayar bunga saja, apalagi untuk membayar cicilan utang. Itu juga menunjukkan kepada pasar global bahwa Indonesia berusaha memenuhi kewajibannya di tengah kekacauan. Karena itu, tanpa penjelasan teknis yang lengkap.
Sebuah negara besar tidak diukur dari keberanian presidennya menanggung dosa proyek, tetapi dari kemampuan sistemnya mengoreksi kesalahan masa lalu secara transparan dan berkelanjutan. Jika negara adalah sistem, maka presiden adalah operator moral dan teknokratiknya — bukan juru selamat pribadi. Dan seni bertahan di istana bukanlah soal mempertahankan popularitas, melainkan menegakkan rasionalitas fiskal di tengah badai politik.
Baca juga : Presiden Prabowo Subianto Memerintahkan Direktur Utama PT KAI Mengadakan 30 Rangkaian Baru KRL Jabodetabek.
( Anisa-red)
